Selasa, 25 Januari 2022

Segara 1

Jam masih menunjukan dini hari, matahari pun masih enggan untuk segera beranjak dari tidurnya. Dingin menerpa bulu tangan dan pipiku. Sunyi! Semua orang masih dibuai mimpi-mimpi yang entah kapan akan terwujud. Lampu kuning di kamar sedikit redup. Diluar jalanan masih berkabut. Ruangan persegi ini menjadi saksi bisu pergumulanku dengan batin. Hati adalah sesuatu yang lembut yang takkan pernah bisa dibaca arahnya. Cinta adalah perasaan yang abstrak dan tidak dapat didefinisikan, tak memiliki otak untuk memilih, cinta hanyalah cinta. Pengembaraanku terhadap cinta pun tak pernah usai meski usiaku kini sudah memasuki kepala tiga. Aku urungkan diri untuk membuka komputer sekedar mengecek surat elektronik dari Jamal—kekasihku yang sudah satu tahun ini mengisi hati dan hari-hariku. Pertemuanku yang tak sengaja di dunia maya melenakanku dalam dekapan cinta yang berbalas meski tak sempurna atau mungkin takkan pernah sempurna. “Kau tahu, sudah 10 tahun aku menikahinya. Aku memilihnya saat aku masih muda, semangatku untuk menolong orang sangat tinggi. Ya, waktu itu usiaku 25 tahun, dan dia 35 tahun. Aku tidak mencintainya, tapi aku ingin menolongnya karena dia adalah seorang pembantu yang dianiaya majikannya. Aku tak sanggup melihatnya dipenjara, maka dari itu aku menikahinya. Kini, saat usiaku 35 tahun dan dia 45 tahun aku merasakan kesepian. Aku ingin memiliki anak dari keturunanku sendiri, bukan hanya dihibur oleh anak dari adik-adikku. Meski senyum mereka menghangatkanku tapi aku ingin kehangatan itu sampai pula ke hatiku dan itu hanya bisa aku rasakan dari senyuman anak kandung. Aku ingin setiap pagi ada anak kecil yang kucium saat akan pergi kerja, dan berlari memelukku saat aku pulang,” ungkapnya dengan wajah memelas saat aku berjumpa, “Bantu aku untuk mendapatkan pendamping. Aku ingin menikah lagi.” Aku iba, hatiku tersentuh. Meski rasanya berat untuk mencarikannya calon pendamping dari kalanganku, apalagi untuk menjadi istri kedua tapi aku kasihan padanya. “Aku akan berusaha membantumu, berdoalah semoga aku bisa mendapatkannya,” jawabku dengan ragu. Percakapan itu sering terngiang-ngiang di telingaku setiap saat. Bahkan hingga hari ini, padahal percakapan itu terjadi satu tahun silam. Pecakapan itu pula yang membawaku pada kisah cinta segita. Aku tak tahu akan seperti apa nantinya.